Ini usul jemaah haji Medan untuk musim haji 2026
Kericuhan dan terpisahnya jamaah haji asal Indonesia di Mekkah maupun di Arafah, Muzdalifah, dan Mina (Armuzna) tahun ini menjadi sorotan serius dari berbagai pihak.

Elshinta.com - Kericuhan dan terpisahnya jamaah haji asal Indonesia di Mekkah maupun di Arafah, Muzdalifah, dan Mina (Armuzna) tahun ini menjadi sorotan serius dari berbagai pihak. Salah satunya datang dari Pimpinan Kelompok Bimbingan Ibadah Haji dan Umrah (KBIHU) Al Adliyah Ikhwansyah Nasution yang berada di Kelompok terbang (Kloter) 09 asal Kota Medan dan sebagai ketua rombongan (Karom), yang menyampaikan sejumlah evaluasi penting demi peningkatan penyelenggaraan ibadah haji ke depan.
“Kejadian tahun ini sungguh memprihatinkan. Banyak jamaah yang terpisah hotelnya, bahkan tendanya, karena tergabung dalam syarikat yang berbeda meskipun berasal dari provinsi yang sama,” ungkapnya, Minggu (22/6/2025) setibanya di Asrama Haji Medan.
Ia menyarankan agar pemerintah, khususnya Kementerian Agama dan instansi terkait, ke depan mengelompokkan syarikat berdasarkan zona domisili jamaah, bukan hanya secara administratif acak. Contohnya, provinsi-provinsi di Sumatera bagian utara seperti Sumut, Aceh, Sumbar, Riau, Kepulauan Riau, dan Jambi dapat digabung dalam satu syarikat. Sementara Sumsel, Bengkulu, dan Lampung bisa dikelompokkan dalam syarikat lain yang terpisah.
“Kalau dikelompokkan seperti itu, jamaah satu provinsi tak akan terpisah lagi. Pemerintah pun lebih mudah mengelola visa, logistik, dan akomodasi,” tegas Ikhwansyah seperti dilaporkan Kontributor Elshinta, Diurnawan, Selasa (24/6).
Masalah Istitha'ah
Selain persoalan pada syarikat terhadap pengelompokan jamaah di Tanah Suci, perhatian besar juga diarahkan pada lemahnya seleksi istitha’ah (kemampuan) kesehatan jamaah.
Terkait hal ini Ikhwansyah yang melaksanakan ibadah haji setiap tahun ini, menyebut ada jamaah lansia, uzur, bahkan penderita penyakit berat seperti kanker stadium 4 dan stroke yang tetap diberangkatkan, padahal secara medis tidak layak.
“Di kloter kami, kloter 9 asal Medan, ada jamaah yang meninggal dan ternyata beliau adalah pasien kanker stadium 4. Apakah penyakit itu tiba-tiba hadir saat ke Tanah Suci? Sehingga saat proses Istitha'ah tidak diketahui ia menderita penyakit kanker? Ini jelas kelalaian dalam proses seleksi kesehatan,” ujarnya.
Ia meminta Dinas Kesehatan lebih tegas dan jujur dalam menetapkan kelayakan kesehatan. Menurutnya, jika seleksi kesehatan dilakukan dengan benar dan tanpa kompromi, hal ini akan mencegah risiko besar selama pelaksanaan ibadah dan mengurangi beban jamaah lain.
“Jamaah yang sakit parah bukan hanya membahayakan dirinya sendiri, tapi juga jadi beban moril dan logistik bagi jamaah lain di sekitarnya,” tambahnya.
Untuk itu, ia berharap kritik dan masukan ini tidak hanya didengar, tetapi benar-benar menjadi bahan evaluasi nasional agar pelaksanaan ibadah haji tahun-tahun mendatang lebih tertib, terkoordinasi, dan manusiawi.